Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Kepulauan Bangka Belitung
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
Pembinaan kelembagaan PLS;
Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama.
Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.
PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.
Perlunya Life Skill dan Semangat Entrepreneur
Salah satu solusi agar materi yang diberikan tidak terlalu membebani peserta didik adalah dengan menitipkan pesan “setiap materi mampu memberikan pelajaran life skill” kepada peserta didiknya dengan alokasi waktu yang relatif cukup dalam proses pembelajaran. Salah satu pertanyaan yang dapat diajukan lebih lanjut adalah sejauh mana materi tersebut berisi aspek life skill dan sejauh mana life skill yang dimaksudkan memang mampu untuk menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja?
Apakah benar bila, misalnya, seorang mahasiswa yang kuliah di matematika setelah lulus dapat langsung bekerja sesuai dengan profesinya sebagai matematikawan? Apakah mahasiswa yang kuliah di jurusan pertanian juga dapat langsung mengolah lahan pertanian secara profesional ketika sudah lulus. Begitu pula dengan jurusan lainnya. Pada kenyataannya, justru begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat sukses ketika masih di bangku kuliah, memperoleh IP (Indeks Prestasi) yang memuaskan, tetapi ia gagap ketika terjun langsung di masyarakat.. Kepandaian dan ketrampilannya solah-olah terbuang dan kurang memiliki nilai positif untuk dirinya. Ternyata persoalannya bukan semata-mata pada ada atau tidaknya life skill dalam pembelajaran. Persoalan utama justru pada sikap kewirausahaan (enterpreneurship) yang perlu ditumbuhkan pada setiap peserta didik.
Dengan demikian jelaslah sekarang bahwa amat diperlukan pendidikan yang sengaja dirancang untuk membekali peserta didik dengan ketrampilan hidup (life skill), yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan. Pendidikan harus dikembalikan pada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Karena itu, pendidikan harus dapat membekali peserta didik, selain dengan kemampuan belajar (learning how to learn), juga kemampuan melepaskan diri dari kebiasaan yang kurang baik (learning how to un learn), seperti menghilangkan pola pikir yang tidak tepat, atau perilaku yang mengganggu, baik orang lain maupun masyarakat pada umumnya. Pendidikan harus dapat pula menyadarkan peserta didik mengenali dan mensyukuri potensi dirinya, kemudian dapat mengembangkan dan mengamalkannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Kepercayaan diri dan kemandirian juga sangat perlu ditanamkan dan dibiasakan, agar mereka berani menghadapi problema kehidupan serta mampu memecahkannya secara kreatif, untuk memperoleh hasil yang bermakna bagi hidup dan kehidupannya, yang akan berpengaruh pada peningkatan daya saingnya. (Wahidmurni, 2004:8).
Pendidikan Nonformal Adalah Sebagai Pendidikan Yang Amat Dinamis Dengan Waktunya Yang FleksibelPendidikan non formal suatu paradigma di dalam memajukan anak bangsa khususnya mereka yang tidak ditempa dalam pendidikan formal. Seharusnya pendidikan nonformal menjadi pendidikan alternatif bahkan lebih dari pendidikan formal. Namun seyogyanya salah satu yang ada dalam pikiran bagaimana kita untuk kedepan mungkin pendidikan nonformal dapat lebih menggunakan keuntungan dari pendidikan nonformal adalah sebagai pendidikan yang amat dinamis dan waktunya fleksibel. Sehingga kedepan dapat diketemukan cara untuk sebuah sistem pembelajaran yang bersifat dinamis dan berkualitas dengan menggunakan keuntungan yang ada dan didapat itu memiliki arti luas.
Menurut saya pendidikan formal itu jangan menjadikan kita terbelenggu dengan kurikulum yang ada, padahal begitu banyak hal yang harus dipelajari, hanya membuat kita berpikir terkotak-kotak dengan sajian yang ada untuk pembelajaran sehingga kita kesulitan untuk berpikir bebas inovatif maupun berfikir logis dan kreatif; sebaiknya jangan ada anggapan lebih kepada mengejar ijazah bukan kepada kemampuan, baik itu kemampuan kognitif, afektif dan psikomorik; sehingga menjadikan pola pikir kita menjadi kaku, lebih cenderung tidak ada keberanian untuk mendobrak apa yang telah ada atau yang telah berjalan, Mudah-mudahan pendidikan nonformal betul-betul dapat menggantikan pendidikan formal yang diharapkan ada daya persaingan yang harmonis diantara ke dua bentuk pendidikan yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1989.
Kita juga berharap, sebaiknya Pendidikan Nonformal setiap programnya diarahkan untuk peningkatan keterampilan kerja mandiri, jadi disetiap lembaganya perlu adanya semacam unit pengembangan usaha dan permodalan, agar mereka yang kebetulan telah meraih pendidikan di lembaga tersebut betul-betul dapat menguasai ilmunya dan juga menguasai cara pengolahannya sehingga laku dijual, apalagi di era otonomi ini mestinya tidak terlalu sulit untuk melaksanakan program tersebut.
Tentunya sangat tergantung kepada Pemimpin Daerahnya dan yang lebih baik lagi ada payung hukumnya, sehingga tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Alangkah sangat bijak lagi apabila, instansi terkait di daerah saling mendukung yaitu melaksanakan kegiatan produktif dalam satu atap atau mekanisme tertentu, sehingga peserta didik pendidikan nonformal setelah lulus betul-betul mampu dapat bersaing baik dari segi kualitas ilmu, maupun segi hasil kualitas produksinya.
Kalau kita lihat dengan mata yang jelas dan keterharuan pada sebuah pendidikan merupakan yang paling menarik secara pasti adalah pendidikan nonformal, karena lembaga ini setelah di pahami dan disebut dengan barang langka masih banyak orang yang belum mengenalnya bahkan ada yang ikut suatu jenjang pendidikan di dengan klasifikasi kesarjanaan S1.
Sementara pendidikan nonformal adalah merupakan sebuah pendidikan yang sulit dan banyak liku-likunya tidak semudah formal yang hanya dapat di lakukan secara tatap muka yang berada di kelasnya.Nah kalau semua ini dapat diterima dan di jabarkan oleh para penentu kebijakan maka pendidikan nonformal itu sudah banyak tenaganya. ini akan menjadi sebuah wacana yang akan pasti lebih berpikir arif dan bijaksana andaikan ini tentunya tidak terlepas dari sebuah pengabdian. .
Kalau semua ini untuk meningkatkan mutu PTK-PNF mari kita ajak para stakeholder itu untuk dapat mengabdi kepada pendidikan nonformal jadi ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Tentunya kita ketahui bersama banyak Program-program pelatihan atau orientasi bagi PTK-PNF besar manfaatnya, oleh karena itu program tersebut harus benar-benar direalisasikan baik di dalam negeri maupun program keluar negeri.
Selain adanya sarana dan prasarana, hal yang terpenting lainnya adalah cara menggunakan sarana dan prasarana tersebut dengan efektif. Oleh sebab itu, maka pembuatan rencana program sosialisasi dengan menggunakan berbagai media yang ada agar betul-betul direncanakan dengan sebaik-baiknya. Baik dari sisi minat pada masyarakat maupun pandai menangkap isu yang berkembang pada masyarakat, khususnya tentang pendidikan nonformal.
Terakhir untuk mendapatkan SDM yang baik, maka perlu diadakan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat terserap dengan baik dan dapat direalisasikan di SKB masing-masing. Khususnya program ICT, kendala utama yang dihadapi selama ini adalah tidak adanya tenaga staf maupun pamong belajar yang memang adalah ahli komputer. Jadi jalan terbaiknya adalah dengan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap.
Barangkali inilah yang menjadi pemikiran bersama, kita berharap dengan respon dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah kita khususnya Dit PTK-PNF diharapkan untuk wajar 2009 tuntas melalui program-program unggulan yang jitu dalam membebaskan Indonesia dari buta aksara, yang jelas sesuai dengan tupoksi pendidikan non formal sebagai pendidikan yang dinamis dengan waktu yang fleksibel. what next?
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Kepulauan Bangka Belitung
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
Pembinaan kelembagaan PLS;
Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama.
Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.
PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.
Perlunya Life Skill dan Semangat Entrepreneur
Salah satu solusi agar materi yang diberikan tidak terlalu membebani peserta didik adalah dengan menitipkan pesan “setiap materi mampu memberikan pelajaran life skill” kepada peserta didiknya dengan alokasi waktu yang relatif cukup dalam proses pembelajaran. Salah satu pertanyaan yang dapat diajukan lebih lanjut adalah sejauh mana materi tersebut berisi aspek life skill dan sejauh mana life skill yang dimaksudkan memang mampu untuk menyiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja?
Apakah benar bila, misalnya, seorang mahasiswa yang kuliah di matematika setelah lulus dapat langsung bekerja sesuai dengan profesinya sebagai matematikawan? Apakah mahasiswa yang kuliah di jurusan pertanian juga dapat langsung mengolah lahan pertanian secara profesional ketika sudah lulus. Begitu pula dengan jurusan lainnya. Pada kenyataannya, justru begitu banyak orang yang sesungguhnya sangat sukses ketika masih di bangku kuliah, memperoleh IP (Indeks Prestasi) yang memuaskan, tetapi ia gagap ketika terjun langsung di masyarakat.. Kepandaian dan ketrampilannya solah-olah terbuang dan kurang memiliki nilai positif untuk dirinya. Ternyata persoalannya bukan semata-mata pada ada atau tidaknya life skill dalam pembelajaran. Persoalan utama justru pada sikap kewirausahaan (enterpreneurship) yang perlu ditumbuhkan pada setiap peserta didik.
Dengan demikian jelaslah sekarang bahwa amat diperlukan pendidikan yang sengaja dirancang untuk membekali peserta didik dengan ketrampilan hidup (life skill), yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan. Pendidikan harus dikembalikan pada prinsip dasarnya, yaitu sebagai upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Karena itu, pendidikan harus dapat membekali peserta didik, selain dengan kemampuan belajar (learning how to learn), juga kemampuan melepaskan diri dari kebiasaan yang kurang baik (learning how to un learn), seperti menghilangkan pola pikir yang tidak tepat, atau perilaku yang mengganggu, baik orang lain maupun masyarakat pada umumnya. Pendidikan harus dapat pula menyadarkan peserta didik mengenali dan mensyukuri potensi dirinya, kemudian dapat mengembangkan dan mengamalkannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Kepercayaan diri dan kemandirian juga sangat perlu ditanamkan dan dibiasakan, agar mereka berani menghadapi problema kehidupan serta mampu memecahkannya secara kreatif, untuk memperoleh hasil yang bermakna bagi hidup dan kehidupannya, yang akan berpengaruh pada peningkatan daya saingnya. (Wahidmurni, 2004:8).
Pendidikan Nonformal Adalah Sebagai Pendidikan Yang Amat Dinamis Dengan Waktunya Yang FleksibelPendidikan non formal suatu paradigma di dalam memajukan anak bangsa khususnya mereka yang tidak ditempa dalam pendidikan formal. Seharusnya pendidikan nonformal menjadi pendidikan alternatif bahkan lebih dari pendidikan formal. Namun seyogyanya salah satu yang ada dalam pikiran bagaimana kita untuk kedepan mungkin pendidikan nonformal dapat lebih menggunakan keuntungan dari pendidikan nonformal adalah sebagai pendidikan yang amat dinamis dan waktunya fleksibel. Sehingga kedepan dapat diketemukan cara untuk sebuah sistem pembelajaran yang bersifat dinamis dan berkualitas dengan menggunakan keuntungan yang ada dan didapat itu memiliki arti luas.
Menurut saya pendidikan formal itu jangan menjadikan kita terbelenggu dengan kurikulum yang ada, padahal begitu banyak hal yang harus dipelajari, hanya membuat kita berpikir terkotak-kotak dengan sajian yang ada untuk pembelajaran sehingga kita kesulitan untuk berpikir bebas inovatif maupun berfikir logis dan kreatif; sebaiknya jangan ada anggapan lebih kepada mengejar ijazah bukan kepada kemampuan, baik itu kemampuan kognitif, afektif dan psikomorik; sehingga menjadikan pola pikir kita menjadi kaku, lebih cenderung tidak ada keberanian untuk mendobrak apa yang telah ada atau yang telah berjalan, Mudah-mudahan pendidikan nonformal betul-betul dapat menggantikan pendidikan formal yang diharapkan ada daya persaingan yang harmonis diantara ke dua bentuk pendidikan yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1989.
Kita juga berharap, sebaiknya Pendidikan Nonformal setiap programnya diarahkan untuk peningkatan keterampilan kerja mandiri, jadi disetiap lembaganya perlu adanya semacam unit pengembangan usaha dan permodalan, agar mereka yang kebetulan telah meraih pendidikan di lembaga tersebut betul-betul dapat menguasai ilmunya dan juga menguasai cara pengolahannya sehingga laku dijual, apalagi di era otonomi ini mestinya tidak terlalu sulit untuk melaksanakan program tersebut.
Tentunya sangat tergantung kepada Pemimpin Daerahnya dan yang lebih baik lagi ada payung hukumnya, sehingga tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Alangkah sangat bijak lagi apabila, instansi terkait di daerah saling mendukung yaitu melaksanakan kegiatan produktif dalam satu atap atau mekanisme tertentu, sehingga peserta didik pendidikan nonformal setelah lulus betul-betul mampu dapat bersaing baik dari segi kualitas ilmu, maupun segi hasil kualitas produksinya.
Kalau kita lihat dengan mata yang jelas dan keterharuan pada sebuah pendidikan merupakan yang paling menarik secara pasti adalah pendidikan nonformal, karena lembaga ini setelah di pahami dan disebut dengan barang langka masih banyak orang yang belum mengenalnya bahkan ada yang ikut suatu jenjang pendidikan di dengan klasifikasi kesarjanaan S1.
Sementara pendidikan nonformal adalah merupakan sebuah pendidikan yang sulit dan banyak liku-likunya tidak semudah formal yang hanya dapat di lakukan secara tatap muka yang berada di kelasnya.Nah kalau semua ini dapat diterima dan di jabarkan oleh para penentu kebijakan maka pendidikan nonformal itu sudah banyak tenaganya. ini akan menjadi sebuah wacana yang akan pasti lebih berpikir arif dan bijaksana andaikan ini tentunya tidak terlepas dari sebuah pengabdian. .
Kalau semua ini untuk meningkatkan mutu PTK-PNF mari kita ajak para stakeholder itu untuk dapat mengabdi kepada pendidikan nonformal jadi ketuntasan wajib belajar 9 tahun. Tentunya kita ketahui bersama banyak Program-program pelatihan atau orientasi bagi PTK-PNF besar manfaatnya, oleh karena itu program tersebut harus benar-benar direalisasikan baik di dalam negeri maupun program keluar negeri.
Selain adanya sarana dan prasarana, hal yang terpenting lainnya adalah cara menggunakan sarana dan prasarana tersebut dengan efektif. Oleh sebab itu, maka pembuatan rencana program sosialisasi dengan menggunakan berbagai media yang ada agar betul-betul direncanakan dengan sebaik-baiknya. Baik dari sisi minat pada masyarakat maupun pandai menangkap isu yang berkembang pada masyarakat, khususnya tentang pendidikan nonformal.
Terakhir untuk mendapatkan SDM yang baik, maka perlu diadakan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat terserap dengan baik dan dapat direalisasikan di SKB masing-masing. Khususnya program ICT, kendala utama yang dihadapi selama ini adalah tidak adanya tenaga staf maupun pamong belajar yang memang adalah ahli komputer. Jadi jalan terbaiknya adalah dengan diklat yang berkesinambungan dan sasaran yang tetap.
Barangkali inilah yang menjadi pemikiran bersama, kita berharap dengan respon dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah kita khususnya Dit PTK-PNF diharapkan untuk wajar 2009 tuntas melalui program-program unggulan yang jitu dalam membebaskan Indonesia dari buta aksara, yang jelas sesuai dengan tupoksi pendidikan non formal sebagai pendidikan yang dinamis dengan waktu yang fleksibel. what next?